Selain dilema habitat dan populasi menurun, orangutan juga menghadapi dilema orangutan yang direhabilitasi belum bisa dilepas.
Di sepanjang tepi sungai Sangatta, di areal Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur, masih tersisa bekas kebakaran hutan 1997 – 1998. Sebagian hutan mampu pulih, sebagian menjadi padang ilalang.
Pada areal ilalang itu, Kepala Balai Taman Nasional Kutai Erly Sukrismanto, hendak melakukan restorasi: menanam kembali pohon kesukaan orangutan morio (Pongo pygmaeus morio).
Dia menggagas habitat ideal bagi orangutan morio di antara Prevab dan
Mentoko. “Nanti, kalau ada yang ingin tahu tempat hidup ideal bagi
orangutan morio bisa mengunjunginya. Itu butuh riset dan manajemen yang
baik,” jelas Erly.
Selain dilema habitat dan populasi menurun, “orangutan juga
menghadapi dilema orangutan yang direhabilitasi belum bisa dilepas,”
terang Novianto Bambang, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati,
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian
Kehutanan.
Pemulihan orangutan jinak, menurut Bambang, perlu biaya besar.
“Biayanya tidak tanggung-tanggung,” katanya seusai membuka lokakarya
Orangutan Conservation and Reforestation, medio Juni, di
Sangatta.“Perusahaan Indonesia yang sudah mempunyai keuntungan lebih,
mari menuju ke sana (melepasliarkan orangutan),” ajak Bambang.
Taman Nasional Kutai menjadi salah satu kantong populasi orangutan morio di Kalimantan Timur (Dwi Oblo/NGI) |
Bersama PT Pertamina EP, Balai Taman Nasional Kutai pernah merawat
dua orangutan pada 2011 sebelum diserahkan kepada Balai Konservasi
Sumber Daya Alam Kalimantan Timur. Program bilateral Balai Taman
Nasional Kutai dengan PT Pertamina EP itusenilai Rp 1,9 miliar selama
2009 sampai 2014.
“Wujudnya, bantuan operasional, pembangunan sarana wisata di
Sangkima, membantu melepasliarkan orangutan sitaan, dan monitoring
populasi,” papar Syamsu Alam, Presiden Direktur PT Pertamina EP.
PT Pertamina EP melihat nilai penting orangutan morio sebagai satwa
endemik Kalimantan. “Karena keterbatasan kami, kami mendukungpengelolaan
Taman Nasional Kutai, termasuk konservasi orangutan,” lanjut Syamsu.
Erly Sukrismanto menyatakan kerjasama bilateral itu menambah
sumberdaya bagi taman nasional. “Kita mendapat sumber daya, dan
perusahaan mendapatkan citra positif. Ini sebenarnya kerjasama
mutualisme, saling menguntungkan,” ungkapnya.
Dukungan itu sebagai wujud komitmen ‘tumbuh bersama lingkungan’ yang
fokus di Sangkima. “Lokasi ini dekat dengan areal operasi dan terdapat
potensi yang bisa dikelola dan dimanfaatkan,” papar Syamsu.
Orangutan morio yang ada di Taman Nasional Kutai biasanya juga turun ke permukaan tanah. Pasalnya, mereka tidak punya predator di muka tanah. (Dwi Oblo/NGI) |
Salah satu program konservasi orangutan berupa survei populasi di
Menamang, Mentoko dan Sangkima. Hasilnya, dijumpai 267 orangutan di
Menamang; 316 ekor di Mentoko; dan 665 ekor di Sangkima.Pada 2012, PT
Pertamina EP bersama Taman Nasional Kutai menggelar operasi gabungan
dengan kepolisian setempat dan TNI untuk menjaga kawasan konservasi dan
pembibitan tanaman sumber pakan orangutan.
Sementara untuk 2013, akan dilakukan pembangunan fasilitas senilai Rp
300 juta. Tak hanya itu, juga diadakan journalis fieldtrip di taman
nasional, pembuatan boneka orangutan morio sebagai ikon Sangatta dan
taman nasional, serta lokakarya bagi praktisi dan pengamat orangutan.
Sebagai salah satu satwa prioritas, populasi orangutan diharapkan
naik tiga persen selama 2010 sampai 2014. Pemantauan itu salah satu
upaya untuk meraih kinerja Taman Nasional Kutai dalam pengelolaan satwa
prioritas itu.
“Melalui kolaborasi ini, kami bisa melakukan kegiatan yang tepat
sasaran, dan target pelestarian orangutan morio dapat tercapai,” harap
Syamsu Alam.
Dari kawasan konservasi yang ada di Kalimantan Tengah, Kalimantan
Timur, dan Kalimantan Barat, papar Novianto Bambang,menunjukkan tren
populasi yang lumayan naik. “Rata-rata kenaikan setiap tahun antara 1 –
1,5 persen.”Harapannya, dalam lima tahun bisa tercapai tiga persen.
“Kalau orangutan sampai punah, kita betul-betul kualat,” pungkas
Bambang.
source: http://nationalgeographic.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar