Waruga ini bukanlah sembarang peti kubur. Waruga bukan hanya sebuah peti
kubur biasa, tapi memiliki beberapa keistimewaan. Peti kubur ini terdiri dari
dua bagian yaitu bagian bawah (badan) dan bagian atas (tutup). Tiap-tiap bagian
terbuat dari sebuah batu utuh (monolith). Biasanya berbentuk seperti kubus pada
bagian badannya. Di dalam bagian badan waruga terdapat rongga sebagai kubur
jasad orang yang sudah meninggal tersebut. Kemudian posisi mayat di dalam peti
kubur itu adalah dalam keadaan jongkok, sesuai posisi bayi dalam rahim ibu
sebelum dilahirkan. Kalau jasadnya laki-laki, tangan berada dalam posisi
terkunci (kunci tangan) dan untuk perempuan adalah mengepalkan tangan.
Posisi mayat tersebut sebenarnya erat terkait dengan filosofi
manusia mengawali kehidupan dengan posisi jongkok dan sudah seharusnyalah
mengakhiri hidup dengan posisi yang sama, yaitu jongkok. Filosofi ini dikenal
dengan sebutan ‘whom’. Setiap waruga biasanya adalah untuk satu
keluarga yang kait-mengkait. Tapi ada juga waruga yang dipersiapkan untuk
mereka yang tidak sekeluarga namun memiliki kesamaan profesi sebelum mereka
meninggal dunia.
Tak jarang pula di dalam waruga ditemui tulang-tulang atau rangka
manusia yang bercampur aduk dengan benda-benda lain seperti keramik China,
perhiasan, benda-benda dari logam, dan masih banyak lagi. Ketika meninggal
dunia, maka barang-barang kesayangan orang tersebut disertakan dalam kubur
sebagai ‘bekal kubur’.
Pada bagian tutup (cungkup batu) sering berukir atau berpahatkan keterangan
profesi atau keterangan lainnya tentang jasad di dalamnya. Misalnya, jika
ditemui tutup berukirkan binatang maka artinya profesi orang tersebut sebelum
meninggal adalah pemburu. Ada juga cungkup batu dengan motif perempuan yang
sedang melahirkan, itu menandakan mayat yang dikubur di dalam waruga itu adalah
seorang dukun beranak. Kalau pada cungkup batu terlihat ukiran beberapa orang
berkerumun secara bersama, maka berarti yang dikubur dalam waruga itu adalah
satu keluarga utuh, mereka meninggal kemudian dikuburkan satu per satu.
Waruga itu kebanyakan berukuran 50 cm sampai satu meter dengan
tinggi sekitar satu meter juga. Tapi ada juga waruga dengan tinggi yang
mencapai 3 meter. Kalau sekiranya kita pernah mendengar kisah-kisah jaman dulu
di Minahasa, maka banyak ditemui cerita tentang kehebatan dan kesaktian
orang-orang kuno Minahasa. Mereka yang hidup di zaman megalitik, mampu memikul
waruga yang berat sekalipun. Caranya mereka meletakan cungkup penutup waruga di
atas kepala, dan tempat mayat (bagian badan) dari waruga dijinjing pakai
tangan. Sungguh luar biasa kekuatan yang mereka miliki.
Dalam bahasa kuno Minahasa, kata waruga berasal dari dua kata: Wale dan Maruga.
Wale artinya rumah, maruga artinya badan yang hancur lebur menjadi abu. Menurut
beberapa catatan, ada sekitar 1000-1500 waruga yang tersebar di Minahasa. Kalau
Anda ingin mengunjungi tempat-tempat yang memiliki waruga, cobalah untuk tidak
melewatkan Desa Sawangan, kemudian di Desa Airmadidi Bawah, Kawangkoan,
Kolongan, Maumbi, Kuwil, Kokoleh (Likupang), Matungkas, Paniki, Kasar,
Tumaluntung, Kema, Kawangkoan, Sonder, Tumpaan, Tombariri, Tomohon, dan masih
banyak lagi. ‘Wisata Waruga’ memang memiliki seninya tersendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar