Selamat datang di CHAP-Global Media Articles

Selasa, 20 November 2012

"Mari Jo Jaga Torang pe Budaya: Kalo bukang torang, kong sapa dang?"

= Mari Jo Jaga Torang Pe Budaya =
"Kalo bukang torang, kong sapa dang?"

Berbeda dengan artikel-artikel (tulisan-tulisan) sebelumnya di ChAPblog, yang biasanya memuat artikel dengan Bahasa Inggris atau artikel Bahasa Indonesia yang bersumber dari suatu situs atau artikel lainnya yang kemudian saya sunting atau artikel saya sendiri. Kali ini, saya akan menulis artikel dengan Bahasa Indonesia bahkan menggunakan Bahasa Melayu Manado atau campuran dari keduanya (kenapa?) 
"Karena artikel kali ini, ditulis dan didedikasikan kepada seluruh masyarakat terlebih khusus Generasi muda: Generasi Penerus Bangsa saat ini di Bumi Indonesia khususnya di Daerah Sulawesi Utara bahkan di Tanah Toar Lumimu'ut, Tanah Minahasa tercinta lebih tepatnya di Tondano di tanah tempat saya berada"

Artikel ini saya tulis sebagai bentuk dan bukti partisipasi dan suatu wujud kepedulian terhadap Seni Budaya Bangsa kita yang saat ini mengalami banyak ancaman baik dari luar maupun dari dalam. Saya mewakili teman-teman Generasi muda sebagai tumpuan dan harapan bangsa di Provinsi Sulawesi Utara yang tercinta ini, yang membuktikan bahwa kami juga dapat memberikan yang terbaik dengan bentuk yang berbeda, inovatif, dan kreatif seperti  menulis artikel ini. Artikel ini juga dibuat sebagai bentuk partisipasi dalam Lomba Blog yang diselenggarakan oleh Yayasan Institut Seni Budaya Sulut bersama komunitas blogger dan komunitas Adat Seni Budaya Minahasa yang bekerja sama dengan: Kawanua Blogger (www.kawanuablogger.com), Mawale Movement, Waraney Wuaya (https://www.facebook.com/groups/196945797063359/) 


 Perkenankan saya untuk mengulas, membahas, memaparkan artikel ini yang mengenai "Mari Jo Jaga Torang Pe Budaya: "Kalo bukang torang, kong sapa dang?".

 Sebetulnya, kalo mo bicara tentang budaya akan menjadi pembahasan yang sangat panjang, lebar, serta rumit namun sangatlah menarik. Sebab jika bicara tentang BUDAYA merupakan sesuatu yang kompleks yang sangat erat kaitannya dengan KEHIDUPAN. (Kiapa bagitu ?) karena:
“kehidupan menghasilkan suatu budaya,
dan budaya adalah yang menghidupkan"
Membaca ungkapan ini, mungkin akan terlintas tentang slogan dari Om Sam (Dr. G. S. S. J. Ratulangi) tentang "SI TOU TIMOU TOU" [Ndei toro tumongko Tou]. Eits nda usah tambah-tambah! Sapa lei kwa tu ada tamba ini? Jangan bilang kalu Alo. (cuma baku sedu). Itu slogan terus dibudayakan sampai saat ini dan menjadi motto torang pe daerah "Sulawesi Utara" tercinta, yang depe arti. 

Manusia (Orang) hidup untuk menghidupi / mendidik / menjadi berkat untuk Manusia (Orang) lain.   

Sungguh pemikiran yang dahsyat, logis namun puitis dari Om Sam sebagai Gubernur Sulawesi Utara pertama. (Ada yang tahu so Gubernur ke berapa Sulut sekarang?)  Saat ini Gubernur Sulut sudah yang ke-14 dan Prov. Sulawesi Utara saat ini sudah berumur 48 tahun sesuai dengan UU 13/1964 dengan 14 Agustus 1959 sebagai hari jadinya. Berikut ini, para Pemimpin (Gubernur) Sulut yang so menghiasi perkembangan di Sulawesi Utara. 

1. Dr. G. S. S. J. Ratulagi
2. Arnold Achmad Baramuli
3. F. J. Tumbelaka
4. Soenandar Prijosoedarmo
5. Abdullah Amu
6. Hein Victor Worang
7. Willy Lasut
8. Eman Hari Rustaman
9. Gustav Hendrik Mantik
10. Cornelis John Rantung
11. Evert Ernst Mangiindaan
12. Adolf Jouke Sondakh
13. Lucky Harry Korah
14. Sinyo Harry sarundajang

Saya kutip dari wikipedia. 
http://id.wikipedia.org/wiki/Sulawesi_Utara



Kembali ke Laptop! 
Bicara budaya Sulawesi Utara, akan timbul banyak aspek, yang akan dijelaskan/dipaparkan seperti di bawah ini: 

1. Tarian tradisional, = Maengket, Cakalele, Lenso, Tatengesan, Nyiur Melambai, Tarian Kabasaran/tarian perang, ada juga tari hasil penggabungan kebudayaan lokal dan tradisional yaitu Tari Katrili, dll 

a.)            Maengket adalah paduan dari sekaligus seni tari, musik dan nyanyi, serta seni sastra yang terukir dalam lirik lagu yang dilantunkan. Sejumlah pengamat kesenian bahkan melihat maengket sebagai satu bentuk khas seni berpadu opera. Apapun, maengket memang merupakan sebuah adikarya kebudayaan puncak yang tercipta melalui proses panjang penyempurnaan demi penyempurnaan.

Maengket sudah ada di tanah Minahasa sejak rakyat Minahasa mengenal pertanian terutama menanam padi di ladang. Kalau dulu nenek moyang Minahasa, maengket hanya dimainkan pada waktu panen padi dengan gerakan-gerakan yang hanya sederhana, maka sekarang tarian maengket telah berkembang teristimewa bentuk dan tarinya tanpa meninggalkan keasliannya terutama syair/sastra lagunya.

Maengket terdiri dari 3 babak, yaitu :
- Maowey Kamberu
- Marambak
- Lalayaan.

Maowey Kamberu adalah suatu tarian yang dibawakan pada acara pengucapan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, dimana hasil pertanian terutama tanaman padi yang berlipat ganda/banyak. Marambak adalah tarian dengan semangat kegotong-royongan (mapalus), rakyat Minahasa bantu membantu membuat rumah yang baru. Selesai rumah dibangun maka diadakan pesta naik rumah baru atau dalam bahasa daerah disebut “rumambak” atau menguji kekuatan rumah baru dan semua masyarakat kampung diundang dalam pengucapan syukur. Lalayaan adalah tari yang dilakukan saat bulan purnama Mahatambulelenen, para muda-mudi melangsungkan acara Makaria’an - mencari teman hidup.

b.)          Kabasaran adalah tarian perang dari daerah Minahasa, Sulawesi Utara.Tarian ini merupakan tarian keprajuritan tradisional Minahasa, yang diangkat dari kata; Wasal, yang berarti ayam jantan yang dipotong jenggernya agar supaya sang ayam menjadi lebih garang dalam bertarung.

Tarian ini diiringi oleh suara tambur dan / atau gong kecil. Alat musik pukul seperti Gong,Tambur atau Kolintang disebut “Pa ‘ Wasalen” dan para penarinya disebut Kawasalan, yang berarti menari dengan meniru gerakan dua ayam jantan yang sedang bertarung, hampir mirip dengan tarian Cakalele dari Maluku.

Kata Kawasalan ini kemudian berkembang menjadi "Kabasaran" yang merupakan gabungan dua kata “Kawasal ni Sarian” “Kawasal” berarti menemani dan mengikuti gerak tari, sedangkan “Sarian” adalah pemimpin perang yang memimpin tari keprajuritan tradisional Minahasa. Perkembangan bahasa melayu Manado kemudian mengubah huruf “W” menjadi “B” sehingga kata itu berubah menjadi Kabasaran, yang sebenarnya tidak memiliki keterkaitan apa-apa dengan kata “besar” dalam bahasa Indonesia, namun akhirnya menjadi tarian penjemput bagi para pembesar-pembesar.

Pada zaman dahulu para penari Kabasaran, hanya menjadi penari pada upacara-upacara adat. Namun, dalam kehidupan sehari-harinya mereka adalah petani dan rakyat biasa. Apabila Minahasa berada dalam keadaan perang, maka para penari Kabasaran menjadi Waraney. (dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/Kabasaran)

c.)         Tari Katrili merupakan salah satu kesenian dari Minahasa. Menurut sejarahnya, tarian ini dibawa oleh bangsa Spanyol ketika menjajah bumi Minahasa beberapa tahun silam. Kisahnya, pada waktu bangsa Spanyol itu datang dengan maksud untuk membeli hasil bumi yang ada di Tanah Minahasa. Karena mendapatkan hasil yang banyak, mereka menari-nari tarian katrili sebagai ekspresi kegembiraan. Lama-kelamaan mereka mengundang seluruh rakyat Minahasa yang akan menjual hasil bumi mereka didalam menari bersama-sama sambil mengikuti irama musik dan aba-aba. Ternyata tarian ini boleh juga dibawakan pada waktu acara pesta perkawinan di tanah Minahasa. Sekembalinya Bangsa Spanyol kenegaranya dengan membawa hasil bumi yang dibeli di Minahasa, maka tarian ini sudah mulai digemari Rakyat Minahasa pada umumnya. Tari katrili termasuk tari modern yang sifatnya kerakyatan.

[Foto telah dihapus]

2. Pakaian adat, 
[Foto telah dihapus]


Foto ini diambil saat saya SMP dan sedang mengikuti lomba Story Telling di DIKPORA Prov. SULUT (saya akan coba mengupload video dari gambar ini) 

3. Bangunan/rumah adat, = Rumah panggung


4. Situs bersejarah sebagai tempat wisata yang menjadi ikon Budaya Sulawesi Utara = Watu Pinawetengan, Waruga, Bukit Kasih (The Hill of Bless), Makam-makam Pahlawan, Loji, dll.


[Foto telah dihapus]

5. Alat musik / jenis musik, = alat musik kolintang, musik bambu, dll.

Kolintang merupakan alat musik khas dari Sulawesi Utara yang mempunyai bahan dasar yaitu kayu yang jika dipukul dapat mengeluarkan bunyi yang cukup panjang dan dapat mencapai nada-nada tinggi maupun rendah seperti kayu telur, bandaran, wenang, kakinik atau sejenisnya (jenis kayu yang agak ringan tapi cukup padat dan serat kayunya tersusun sedemikian rupa membentuk garis-garis sejajar).
Kata Kolintang berasal dari bunyi : Tong (nada rendah), Ting (nada tinggi) dan Tang (nada tengah). Dahulu Dalam bahasa daerah Minahasa untuk mengajak orang bermain kolintang: "Mari kita ber Tong Ting Tang" dengan ungkapan "Maimo Kumolintang" dan dari kebiasaan itulah muncul nama "KOLINTANG” untuk alat yang digunakan bermain.
Pada mulanya kolintang hanya terdiri dari beberapa potong kayu yang diletakkan berjejer diatas kedua kaki pemainnya dengan posisi duduk di tanah, dengan kedua kaki terbujur lurus kedepan. Dengan berjalannya waktu kedua kaki pemain diganti dengan dua batang pisang, atau kadang-kadang diganti dengan tali seperti arumba dari Jawa Barat. Sedangkan penggunaan peti sesonator dimulai sejak Pangeran Diponegoro berada di Minahasa (th.1830). Pada saat itu, konon peralatan gamelan dan gambang ikut dibawa oleh rombongannya. Adapun pemakaian kolintang erat hubungannya dengan kepercayaan tradisional rakyat Minahasa, seperti dalam upacara-upacara ritual sehubungan dengan pemujaan arwah para leluhur. Itulah sebabnya dengan masuknya agama kristen di Minahasa, eksistensi kolintang demikian terdesak bahkan hampir menghilang sama sekali selama ± 100th.
Sesudah Perang Dunia II, barulah kolintang muncul kembali yang dipelopori oleh Nelwan Katuuk (seorang yang menyusun nada kolintang menurut susunan nada musik universal). Pada mulanya hanya terdiri dari satu Melody dengan susunan nada diatonis, dengan jarak nada 2 oktaf, dan sebagai pengiring dipakai alat-alat "string" seperti gitar, ukulele dan stringbas. Tahun 1954 kolintang sudah dibuat 2 ½ oktaf (masih diatonis). Pada tahun 1960 sudah mencapai 3 ½ oktaf dengan nada 1 kruis, naturel, dan 1 mol. Dasar nada masih terbatas pada tiga kunci (Naturel, 1 mol, dan 1 kruis) dengan jarak nada 4 ½ oktaf dari F s./d. C. Dan pengembangan musik kolintang tetap berlangsung baik kualitas alat, perluasan jarak nada, bentuk peti resonator (untuk memperbaiki suara), maupun penampilan. Saat ini Kolintang yang dibuat sudah mencapai 6 (enam) oktaf dengan chromatisch penuh. (dikutip dari http://kolintang.page.tl/Sejarah-Kolintang.htm)


6. Bahasa, ada juga Budaya Sulawesi Utara  yang saat ini sudah terancam punah. Mengutip dari suaramerdeka.com dikatakan ada 18 bahasa di Sulawesi Utara terancam punah. Bahasa daerah tersebut, antara lain: Bahasa Tonsea, Bahasa Toulour, Bahasa Tombulu, Bahasa Tountemboan, Bahasa Mongondow, Bahasa Sangihe, dll.

Menurut Guru Besar Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) UNIMA, ia mengatakan dalam artikel tersebut ada beberapa faktor yang membuat bahasa daerah itu kurang dikuasai generasi muda,  antara lain adanya pandangan di kalangan masyarakat, bahwa dengan berbicara menggunakan bahasa asing membuat kelihatan lebih modern dari pada menggunakan bahasa daerah.

Menurut saya ungkapan ini sangatlah benar. Kembali dalam artikel, dikatakan bahwa untuk melestarikan belasan bahasa daerah itu, maka telah diusulkan kepada  Dinas Pendidikan Nasional di Provinsi Sulawesi Utara, untuk memasukkan bahasa daerah sebagai muatan lokal dalam mata pelajaran. Usulan itu telah ditanggapi dengan  adanya sejumlah sekolah yang memasukkan bahasa daerah sebagai salah satu mata pelajaran untuk diajarkan kepada para siswa. Dikutip dari:

7. Makanan khas, makan khas yang dimaksudkan seperti icon Sulawesi Utara yaitu Bubur Manado yang dikenal dengan banyak istilah yaitu Tinutuan atau Midal. Depe cara mo beking:

8.    Ada budaya yang so dari dulu ada dan unik, selain dari budaya di atas:
·          Budaya mapalus. Mapalus merupakan sebuah tradisi budaya suku Minahasa dimana dalam mengerjakan segala sesuatu dilakukan secara bersama-sama atau gotong royong. Budaya mapalus mengandung arti yang sangat mendasar. Mapalus juga dikenal sebagai local Spirit and local wisdom masyarakat di Minahasa
·         Perayaan tulude. Perayaan tulude atau kunci taong (kunci tahun) dilaksanakan pada setiap akhir bulan januari dan diisi dengan upacara adat yang bersifat keagamaan dimana ungkapan puji dan syukur terhadap sang pencipta oleh karena berkat dan rahmat yang telah diterima pada tahun yang telah berlalu sambil memohon berkat serta pengampunan dosa sebagai bekal hidup pada tahun yang baru
·         Festival figura. Figura merupakan seni dan budaya yang diadopsi dari kesenian yunani klasik. Seni ini lebih dekat dengan seni pantomim atau seni menirukan laku atau watak dari seseorang tokoh yang dikenal atau diciptakan. Figura merupakan kesenian yang dapat menghadirkan dramaturgi pendek terhadap sosok atau perilaku tokoh-tokoh yang dianggap berperan dalam mengisi tradisi baik buruknya sosok dan watak seorang manusia. Oleh pemerintah kota Manado festival figura diselenggarakan dalam rangka pesta kunci taong layaknya perayaan tulude yang dilaksanakan oleh masyarakat sangihe.
·         Toa Pe Kong atau Cap go meh. Seperti didaerah lainnya, perayaan/upacara ini juga rutin dilaksanakan di Sulawesi Utara apa terlebih di Kota Manado. Upacara ini dimeriahkan dengan atraksi dari Ince Pia yakni seorang yang memotong-motong badan dan mengiris lidah dengan pedang yang tajam serta menusuk pipi dengan jarum besar yang tajam akan tetapi si Ince Pia tidak terluka ketika
·         Pengucapan syukur. Pengucapan syukur merupakan tradisi masyarakat Minahasa yang mengucap syukur atas segala berkat yang telah Tuhan berikan. Biasanya pengucapan syukur dilaksanakan setelah panen dan dikaitkan dengan acara keagamaan untuk mensyukuri berkat Tuhan yang dirasakan terlebih panen yang dinikmati. Acara pengucapan syukur ini dilaksanakan setiap tahun oleh masyarakat suku Minahasa pada hari Minggu umumnya antara bulan Juni hingga Agustus. Saat pengucapan syukur hampir setiap keluarga menyediakan makanan untuk para tamu yang akan datang berkunjung apa terlebih makanan khas seperti nasi jaha dan dodol. Di luar negeri, budaya seperti juga dilaksanakan namun dengan cara yang berbeda. Budayanya dikenal dengan istilah Thanks Giving.

          Aspek / jenis / bentuk di atas hanyalah sebagian dari berbagai budaya dan seni yang ada di Sulawesi Utara. Setelah melihat aspek / jenis / bentuk di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa sangatlah banyak hal atau kegiatan yang dapat torang lakukan sebagai Generasi Muda : Generasi Penerus Bangsa di Indonesia terlebih khusus di Sulawesi Utara bahkan tanah Toar Lumimu’ut yang wajib untuk mewarisi dengan tujuan melestarikan dan menjaganya.

          Nah, saat ini perkembangan budaya di Sulawesi Utara sangat dipengaruhi oleh masuknya budaya asing di Sulawesi Utara,  khususnya di kota – kota besar yang menjadi pusat di daerah Sulawesi Utara seperti Manado. Ada banyak budaya yang masuk dan langsung dapat diterima oleh masyarakat Sulawesi Utara, tanpa berpikir bahwa budaya yang masuk belum tentu berdampak baik di Sulawesi Utara. Ini membuktikan bahwa, masih kurangnya pengawasan dari pemerintah dan masyarakat yang ada. Io toh?
         
          Budaya yang masuk, (1) seperti cara berpakaian (yang mengikuti budaya barat atau dikenal dengan istilah westernisasi) (2) Tarian atau modern dance, (3) Budaya pergaulan bebas, dan lain-lain. 

Contoh dari cara berpakaian, kalu di barat berpakaian sesuai musim. Kalu di daerah eropa sana, karena dorang ada 4 musim (musim dingin/salju, musim panas, musim gugur, musim semi). Jadi katu kalu misalnya musim dingin, jadi pake pakaian yang agak tebal, kong kalu musim panas mengunakan pakaian yang agak tipis. Mar kalu di sini mo di mana yang penting gaya tetap ba pake tu baju yang kalu menurut dorang gaya yang mirip-mirip deng orang Bule pe ba pake. Padahal so nda betul kalu mo lia, kong merusak pemandangan, serta mangganggu orang yang melihat. (Sama deng itu satu tali, rok pende, deng depe kawan-kawan laeng.) Nda mo bilang apa, mar sekarang sedang (maaf) di tempat ibadah dorang kurang ja pake tu macam itu. Nah, budaya berpakaian yang rupa ini susah sekali mo kase ilang apa lei di Tondano. Sampe ada istilah dari orang "Tondano biar kalah nasi yang penting nda kalah aksi". Ini istilah merupakan istilah yang tidak membangun dan tidak  berdasar yang mungkin dorang cuma ja for bakusedu mar istilah pasti timbul dari masyarakat Minahasa khususnya Tondano sendiri.

Hal seperti ini terjadi karena masyarakat Sulawesi Utara so kurang deng so nanda berpegang dan berpedoman pa itu Pancasila sebagai Ideologi bangsa dan sebagai filter (penyaring) serta itu moral deng norma-norma yang berlaku di Masyarakat. Apa lagi norma agama, faktanya saat ini banyak orang terlebih anak muda yang terjerumus dalam pergaulan yang salah dan berkontribusi degan hidup dengan hal-hal busu (sampah) yang nda baik dan dapat merusak moral anak-anak bangsa. Serta berdampak pda Budaya, yang akhirnya dilupakan. Seperti narkoba atau obata-obatan terlarang, seks bebas (free sex), miras, pornografi, tauran, judi, deng tu laeng-laeng.    (drug)

Selanjutya, contoh kecil dari budaya asing yang masuk dalam bentuk tarian atau dance modern di saat ini adalah Shuffle dance, Break dance, Hip-Hop, Street dance, dan sebagainya. Hal yang menjadi permasalahan deng jadi pertanyaan di sini adalah:

“Kalu samua kurang tahu dance modern (Shuffle dance, Break dance, Hip-Hop, Street dance) kong sapa dang yang mo ba cakalele, maengket, katrili, tari lenso, dll. Jangan heran kalu sebantar kurang Bule asal Australia yang biasa datang di Bunaken kong ba ba taria ada menari Cakalele di Jalan Boulevard Manado. Kong dorang yang mo kase ajar pa torang. Bagimana lei komang itu? Apa kata dunia?

Nah, jangan sampe torang pe budaya nantinya diakui oleh negara lain, apa lagi negara tetangga yang sering bermasalah deng torang. Sama deng Malayasia dengan negara kawasan Asia Tenggara laeng. Cuma karena torang lupa dengan torang per Budaya ini yang seharusnya menjadi pedoman serta menjadi ikon pariwisata Sulawesi Utara. Sehingga lebih dikenal di daerah luar bahkan dunia Internasional.

Jadi apa torang pe pilihan sekarang? Torang samua so boleh mo kase ilang itu (1) Budaya malo Berbudaya, (2) budaya baku cungkel, (3) budaya baku pukul, (5) budaya bagate (bamabo) (6) Budaya Korupsi,  wo se tu lang-laeng. (so ja ba bahasa ini no). Pokoknya samua budaya/kegiatan yang nda bagus yang so jadi kebiasaan, so boleh kase ilang! (Ba inga itu torang pe masa depan, masa depan Indonesia khususnya daerah Sulawesi Utara, deng masa depan anak cucu)

Dapa inga pa Polda Sulut pe Slogan saat ini. “Gerakan Anti Mabuk: Brenti jo Bagate”. Kalo torang “Brenti jo tu Budaya malo Berbudaya: Karena kalo bukang torang, kong sapa dang”

Kong inga! Dukung trus itu program-program pemerintah di Kabupaten/Kota di Sulawesi Utara. Mo dia ke di Manado kota Pariwisata dunia, Tomohon kota bunga, Bitung kota adipura, deng Tondano kota mati. (Bukang katu! Cuma bakusedu) Ini istilah nentau muncul dari mana, mar paling muncul dari orang Tondano sandiri. (Kita lei orang Tondano, jadi kita tahu Tondano itu bagimana). Saat ini kita selaku masyarakat Minahasa (khususnya Tondano), mewakili seluruh elemen rakyat dari Opa/Oma sampe ade-ade berharap mudah-mudahan yang nanti mo terpilih  sebagai Bupati deng Wakil Bupati Minahasa periode 2013-2018 sanggup merubah wajah Minahasa menjadi baru dan semakin maju, serta dapat memberikan yang terbaik for tanah Minahasa tercinta. Amin

Lestarikan trus itu Budaya Sulawesi Utara sesuai deng itu tema dari “Yayasan Institut Seni Budaya Sulut bersama komunitas blogger dan komunitas Adat Seni Budaya Minahasa” yaitu:   
    
= Mari Jo Jaga Torang Pe Budaya =
"Kalo bukang torang, kong sapa dang?"

________________________________________________________


Di bawah ini ada beberapa lomba yang pernah saya ikuti dan berhubungan dengan Budaya dan Seni di Sulawesi Utara dan menurut saya, wajib untuk terus dilaksanakan dan dikembangkan.

Ini ada foto saya mengikuti lomba Story Telling. Dalam lomba ini saya menggunakan pakaian Adat Sulawesi Utara dan pakaian kedua yaitu pakaian seorang petani sesuai dengan cerita yang saya bawakan. Saya membawakan 2 buah cerita yang pertama (1) “The Legend of Lake Tondano” dan kedua (2) “The Golden Tree”. Kedua cerita/dongeng tersebut dibawakan dalam Bahasa Inggris sesuai dengan Lomba yang ada”
          “The Legend of Lake Tondano” adalah cerita legenda masyarakat yang menceritakan tentang kisah terbentuknya Danau Tondano di Minahasa. Kebetulan dalam lomba tersebut hanya saya yang menggunakan pakaian adat Sulawesi Utara untuk siswa laki-laki. Siswa lain menggunakan kostum lain sesuai dangan cerita yang mereka bawakan, yang pada umunya adalah cerita hewan/binatang atau fabel.)
          Yang ingin saya sampaikan, kegiatan seperti ini juga merupakan kegiatan yang dapat terus dikembangkan oleh kita semua. Karena kalu bukang torang kong sapa dang? dalam upaya menjaga kelestarian Budaya Sulawesi Utara.

         Ini merupakan foto pada saat saya mengikuti lomba bahasa daerah yang diselenggarakan oleh KCSU (Komunitas Cinta Sulawesi Utara) yang bertujuan menjaga dan melestarikan  Budaya Minahasa dalam bentuk Bahasa Daerah (baik Toulour, Toutemboan, Tombulu, dll). Dalam lomba ini saya mendapat juara dua. Lomba ini juga dapat terus dikembangkan dan kiranya dapat menjadi dasar pemikiran dari pemerintah sebagai bentuk program demi menjaga kelestarian budaya Sulawesi Utara.

Foto


Semoga artikel “Mari Jo Jaga Torang Pe Budaya: Kalo bukang torang, kong sapa dang?" dapat bermanfaat for torang samua, karena torang samua basudara. 

Taruma kase laker (Terima Kasih). 
Salam Blogger! Salam Kawanua! Salam ChAPblog!


_________________________________________________
==================================

Berikut ini adalah beberapa referensi sebagai sumber dari artikel Mari Jo Jaga Torang Pe Budaya: Kalo bukang torang, kong sapa dang? saya kali ini:

  1. http://www.senibudayakita.com
  2. http://id.wikipedia.org
  3. http://id.wikipedia.org/wiki/Sulawesi_Utara
  4. http://www.liburania.org/s/sejarah-cakalele
  5. http://id.wikipedia.org/wiki/Kabasaran
  6. http://kolintang.page.tl/Sejarah-Kolintang.htm
  7. (http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2008/05/20/6183/18-Bahasa-Daerah-Sulut-Terancam-Punah)
  8. http://bacary.com/forum/thread/1238/pahlawan-nasional-asal-sulawesi-utara/post_0/
  9. http://www.senibudayakita.com/blog/2012/11/20/tinutuan/
  10. http://www.seputarsulut.com/kebudayaan-di-sulawesi-utara/



Tidak ada komentar:

Posting Komentar